Kamis, 12 Maret 2015

Sedikit Cerita Tentang Kimpul

Sedikit Cerita Tentang Kimpul




Jika kamu pernah mendengar peribahasa “seperti air di atas daun talas”, ya saya akan membagikan tentang temannya talas yaitu kimpul. Kimpul merupakan sejenis tanaman umbi-umbian seperti talas, hanya saja kimpul memiliki buah di bagian umbi atau dalam bahasa saya sehari hari adalah bedhogol.
Daunnya berwarna hijau yang membentuk waru/hati. Di daun tersebut terdapat tulang tulang daun yang membagi menjadi dua bagian, kemudian membentang ke kanan dan ke kiri. Batangnya lunak namun cukup panjang dan tegak ke atas agak miring, menyangga daun yang ukurannya sangat lebih lebar ketimbang batangnya. Getahnya berwarna putih, sangat perih jika terkena luka namun bersifat menyembuhkan. Itu sedikit deskripsi tentang pohon kimpul ini atau yang di tempat saya disebut Lompong.
Nama dari kimpul berbeda-beda di setiap daerahnya. Di kabupaten banyumas saja sudah lebih dari tiga nama dipakai dalam satu jenis tanaman ini. Di tempat saya di desa Ketenger, tentu orang akan tau dengan nama kimpul. Namun berbeda lagi dengan daerah yang lainnya.
Ini saya ketahui beberapa tahun silam saat saya berjelajah ke desa desa atau dalam ungkapan bahasa jawanya “jajah desa milang kori”. Waktu itu saya sedang mencari kimpul, membelinya untuk dibuat sriping atau kripik.
Di daerah Kalisalak kecamatan Kedungbanteng, banyak orang menyebutnya Busil. Bahkan ada juga yang menyebutnya Lengki. Ini yang membuat saya dulu bingung ketika saya bertanya kepada penduduk desa tersebut tentang kimpul malah tidak tahu. Namun setelah saya jelaskan ciri-cirinya, maka penduduk desa tersebut baru nyambung  dan memberitahu kalau mereka menamai itu dengan sebutan lain.
Berbeda lagi saat saya pergi ke daerah Ajibarang. Disana saya tanya kimpul malah diantarkanlah saya ke penjual Talas. Aneh tapi nyata, disana malah namanya terbalik. Yang kimpul jadi talas, yang talas jadi kimpul. Sama seperti saat saya mencarinya di pasar Padamara dan Moga. Entah di daerah lainpun ada kasus yang sama seperti ini atau tidak. Yang jelas, dari pengalaman ini menyebabkan nantinya kita bisa memilih nama untuk menyebut umbi ini, tergantung dengan siapa atau orang mana kita bicara.
Berbicara tentang kimpul, ternyata sekarang sudah memiliki “nilai”. Ya, nilai. Pasalnya, saat ini kimpul sudah muncul di pasaran, dan harganya beragam, bahkan ada yang tidak main-main. Kalau melihat pasaran secara umum pada kurun waktu 2012-2014 saat saya masih mengikuti perkembangan harga pasar, kimpul berada pada kisaran harga 2000-3000 rupiah. Namun di beberapa pasar, pernah saya menjumpai dengan harga dua bahkan tiga kali lipatnya. Harga yang sangat tidak main-main untuk sebuah umbi yang bernama kimpul.
Ini berarti mengalahkan harga budin / ketela pohon yang berada pada 1000-1500 rupiah dan munthul yang berada pada harga 1500-2500 rupiah. Padahal, dulunya urutan harga tidak seperti ini. Kimpul selalu berada di level yang paling bawah karena orang dulu belum menganggap tanaman ini.
Ini merupakan suatu bentuk perubahan sosial, dimana pola pikir masyarakat tentang hal ini berubah. Pasalnya, pada saat saya kecil, urutan harga umbi-umbian dari yang paling rendah ke yang tinggi dimulai dari kimpul, kemudian budin/ketela pohon, disusul oleh munthul/ubi kayu. Ya pembandingnya 3 itu saja dulu.
Pandangan saya sementara tentang hal ini adalah disebabkan karena kimpul merupakan makanan pengganti bagi mereka yang terkena diabetes. Sedangkan saat ini cukup banyak penderita diabetes di sekitar kita. Ini yang menjadikan kimpul memiliki nilai jual yang lebih. Selain itu, masyarakat juga jarang yang secara sengaja untuk membudidayakan atau menanam kimpul, sehingga produksi kimpul saat ini pun bisa dikatakan kurang bersaing dalam hal harga ya.
Bagaimana tidak? Contohnya saja di desa tempat saya tinggal. Pastinya adalah tidak ada yang menggunakan kimpul sebagai tanaman utama di pekarangan mereka. Kalaupun ada yang menanam, itupun karena “terlanjur” tumbuh dan sudah besar kemudian bisa di panen. Bahkan tak jarang yang tak sengaja membiarkan kimpul tumbuh di kebun mereka dan tanpa dirawat, tetapi bisa memanen kimpul.
Bahkan saat inipun saat kimpul sudah mempunyai nilai, tak jarang orang yang memandangnya dengan sebelah mata. Ini terbukti suatu hari pada waktu itu di kebun yang tak terlalu jauh dari rumah, saya menanam pohon kimpul beberapa baris. Setelah beberapa bulan dan sudah mulai tumbuh besar, orang yang mencari pakan ikan pada waktu itu secara sengaja memangkas habis daun itu. Padahal tumbuhan itu secara sengaja saya tanam untuk bisa menikmati panen pada waktunya.
Namun ya sudahlah, itu hanya kimpul yang pada saat ini sudah mempunyai nilai lebih. Suatu hari seiring dengan informasi dan pengetahuan yang bertambah, masyarakat pasti akan tahu dan lebih memahami.
Itulah sepenggal cerita tentang kimpul, lain waktu akan saya bagikan lagi tulisan tentang kimpul yang lebih ke fungsinya. Adakah kimpul di sekitar kalian?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar