Kamis, 30 April 2015

Melihat Hukum Di Indonesia

Melihat Hukum di Indonesia


Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas.
Kali ini, saya ingin berbagi tentang pemikiran mengenai hukum yang telah berjalan di Indonesia. Ada beberapa hal yang saya rasa janggal serta unek-unek yang ingin saya bagikan mengenai apa yang saya lihat, dengar, dan perhatikan selama ini. Perlu diketahui, disini saya bukan ahli hukum layaknya Mahfud MD yang pernah menjadi ketua MK, ataupun Hotman Paris sang pengacara Terkenal. Saya adalah orang biasa yang juga ingin berpendapat dalam apa yang saya rasakan.
Mengenai hukum, kata-kata di atas pada kalimat paling awal sering dilontarkan seiring apa yang kita lihat dan dengar tentang ketidak adilan dalam hukum di Indonesia ini. Masyarakat kecil seringkali mendapat ketidakadilan dalam hal ini, dimana mereka para hakim lebih memihak kepada mereka orang-orang besar. Ya, memang tidak semua, tetapi hal seperti itu telah banyak kita dengar dari informasi baik di media cetak maupun elektronik. Baik di televisi maupun Internet.
Lihat saja kasus Nenek Asyani yang baru-baru ini terjadi dan masih hangat diberitakan di televisi. Sebelum masuk kasusnya, kita tahu seperti apa itu nenek Asyani. Seorang wanita tua yang untuk berjalan saja butuh perjuangan, serta dengan kondisi fisik yang kita tahu orang tua tidak seperti anak muda yang enerjik. Bahkan nenek asyani pernah datang ke ruang sidang dalam keadaan sakit ataupun kurang sehat dan sampai pingsan di ruang sidang dan kemudian digotong oleh kuasa hukumnya lalu kemudian mendapatkan penangguhan penahanan.
Ya, itu tadi tentang seperti apa nenek Asyani. Sekarang kita masuk ke dalam kasusnya. Nenek Asyani diadili dengan tuduhan telah mencuri beberapa kayu milik perhutani. Sejauh ini saya tidak mengikuti dengan begitu detil setiap berita yang ada di layar kaca. Namun ada hal yang menggelitik tentang berita terakhir yang saya dengar di stasiun televisi pada saat itu.
Saya sedang berada di meja makan dengan sepiring nasi goreng yang tinggal beberapa suap tersisa. Kemudian ayah saya mengganti channel di salah satu stasiun televisi yang sedang menayangkan berita tentang persidangan. Dari berita tersebut, saya mendapatkan beberapa hal yang menggelitik yaitu :
1. Sidang dilaksanakan walaupun nenek Asyani tidak bisa menghadiri persidangan
2. Majelis Hakim kecewa karena kuasa hukum nenek Asyani tidak bisa menghadirkan Nenek Asyani dalam persidangan
3. Adanya denda sebesar 500 Juta rupiah kepada Nenek Asyani atas kasus tersebut.
Apakah ada yang aneh dengan hal tersebut? Tentu, bagi saya sangat aneh! Namun kali ini saya hanya ingin berkomentar tentang poin nomor 3 tersebut.
Nenek Asyani didenda 500 Juta Rupiah
Pernahkah anda melihat atau mendengar orang yang mencuri seekor ayam kemudian ketahuan oleh warga dan dihajar masa?
Pernahkan anda melihat atau mendengar pelaku korupsi milyaran rupiah dan pelakunya menebar senyuman di layar kaca tanpa terlihat rasa bersalahnya?
Pernahkah anda tahu berapa lama waktu hukuman yang dijatuhkan kepada pencuri ayam?
Pernahkah anda membandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan para koruptor?
Dari kedua tersebut, terjadi perbedaan yang sangat aneh pada saat ini. Kenapa? Dari saat awal tertangkap, jelas terjadi perbedaan. Yang satunya dihajar, yang satunya dikawal dan tersenyum lebar. Dari segi hukuman, memang masih lebih lama pelaku korupsi, tetapi coba bandingkan dengan banyaknya kerugian dari perbuatan mereka.
Pencuri ayam, mencuri ayam 1 ekor dengan harga katakanlah 100-200 ribu rupiah. Yang didapatkan saat ketahuan adalah : 1. Dihajar masa, 2. Hukuman Penjara , 3. Denda, sedangkan koruptor yang merugukan milyaran hanya mendapat hukuman. Kalaupun denda, dendanya pun tak seberapa.
Kembali lagi ke kasus nenek Asyani. Nenek ini dikenai denda sebesar 500 juta rupiah setelah dituduh mencuri 7 batang kayu jati. Nilai yang tidak sedikit tentunya. Tetapi mari bandingkan.
Berapa harga kayu tersebut? Saya tidak tahu seberapa besar kayu jati tersebut. Namun, jika kayu tersebut seharga 2 juta rupiah, dikalikan 7 batang kayu nilainya hanya 14 juta rupiah. Apakah sebanding dengan denda yang dituntut dan dijatuhkan kepada nenek Asyani? Belum lagi biaya negara untuk memfasilitasi ongkos sidang, hakim, biaya pengacara, dan apapun itu lah yang walaupun juga bukan uang negara tetapi  ada hubungannya untuk ikut kasus tersebut.
Sungguh ironis dengan keadaan tersebut. Namun pak hakim tidak memikirkan hal itu. Melihat sisi kerugian ekonomi saja tidak diperhatikan, apalagi kemanusiaan? Padahal setahu saya, hukum itu hubungannya dengan keadilan, dan keadilan adalah dari hati nurani yang berarti kemanusiaan. Hmm
Bandingkan dengan pelaku koruptor. Katakanlah Joko Susilo yang merugikan uang negara hingga 121 Milyar tetapi hukumannya 10 tahun, dan dendanya HANYA 500 juta. Dendanya sama dengan kasus nenek Asyani yang hanya mencuri dengan dilai belasan juta, itupun kalau benar mencuri. Belum lagi bila nantinya mendapat pengurangan masa hukuman.
Alternatif
Jika saja bisa, kenapa hakim tidak mempertimbangkan sisi ekonomi terlebih dahulu sebelum masuk ke sisi kemanusiaan. Atau undang undang yang mengatur juga begitu. Contohnya saja begini, “Pelaku tindakan pencurian dihukum dengan MENGEMBALIKAN uang tersebut kepada pemiliknya, ditambah denda DUA KALI LIPAT yang dibayarkan kepada negara. Jika tidak bisa membayar maka dijatuhkan masa tahanan”. Intinya mengembalikan uang tersebut, dan denda kepada negara. Bukankah lebih sederhana? Negara pun bisa mendapatkan keuntungan pemasukan negara yang nantinya bisa digunakan sebagai biaya tambahan dalam pembangunan negara.
Dari hal tersebut saja, menurut saya sudah cukup membantu pelaku untuk merasa jera. Kenapa? Karena contoh saja korupsi sebesar 100 juta, orang akan mengeluarkan 300 juta untuk membayarkan kerugian tersebut. Yang 100 juta dibayarkan kepada negara(sebagai pemilik), yang 200 juta kepada negara juga tentunya. Dengan begitu orang akan berpikir lagi untuk mencuri, karena akan rugi banyak jika ketahuan. Daripada seperti sekarang ini, korupsi milyaran, denda tak seberapa. Ya orang yang memiliki jiwa korup malah senang karena misal korupsinya 2 milyar, denda hanya 500 juta, berarti masih untung 1,5 milyar.
Yaa, itu jika dilihat dari sisi ekonomi saja. Tentu semua memiliki kelemahan karena “tidak ada yang sempurna”.  Jika akan ditambahkan sisi kemanusiaan, tinggal menyesuaikan saja.

Dian Jaya

Referensi :
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Koruptor.Terlalu.Ringan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar