Melihat Hukum di Indonesia
Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke
Atas.
Kali ini, saya ingin berbagi
tentang pemikiran mengenai hukum yang telah berjalan di Indonesia. Ada beberapa
hal yang saya rasa janggal serta unek-unek yang ingin saya bagikan mengenai apa
yang saya lihat, dengar, dan perhatikan selama ini. Perlu diketahui, disini
saya bukan ahli hukum layaknya Mahfud MD yang pernah menjadi ketua MK, ataupun
Hotman Paris sang pengacara Terkenal. Saya adalah orang biasa yang juga ingin
berpendapat dalam apa yang saya rasakan.
Mengenai hukum, kata-kata di atas
pada kalimat paling awal sering dilontarkan seiring apa yang kita lihat dan
dengar tentang ketidak adilan dalam hukum di Indonesia ini. Masyarakat kecil
seringkali mendapat ketidakadilan dalam hal ini, dimana mereka para hakim lebih
memihak kepada mereka orang-orang besar. Ya, memang tidak semua, tetapi hal
seperti itu telah banyak kita dengar dari informasi baik di media cetak maupun
elektronik. Baik di televisi maupun Internet.
Lihat saja kasus Nenek Asyani yang
baru-baru ini terjadi dan masih hangat diberitakan di televisi. Sebelum masuk
kasusnya, kita tahu seperti apa itu nenek Asyani. Seorang wanita tua yang untuk
berjalan saja butuh perjuangan, serta dengan kondisi fisik yang kita tahu orang
tua tidak seperti anak muda yang enerjik. Bahkan nenek asyani pernah datang ke
ruang sidang dalam keadaan sakit ataupun kurang sehat dan sampai pingsan di
ruang sidang dan kemudian digotong oleh kuasa hukumnya lalu kemudian
mendapatkan penangguhan penahanan.
Ya, itu tadi tentang seperti apa
nenek Asyani. Sekarang kita masuk ke dalam kasusnya. Nenek Asyani diadili
dengan tuduhan telah mencuri beberapa kayu milik perhutani. Sejauh ini saya
tidak mengikuti dengan begitu detil setiap berita yang ada di layar kaca. Namun
ada hal yang menggelitik tentang berita terakhir yang saya dengar di stasiun
televisi pada saat itu.
Saya sedang berada di meja makan
dengan sepiring nasi goreng yang tinggal beberapa suap tersisa. Kemudian ayah
saya mengganti channel di salah satu stasiun televisi yang sedang menayangkan
berita tentang persidangan. Dari berita tersebut, saya mendapatkan beberapa hal
yang menggelitik yaitu :
1. Sidang dilaksanakan walaupun nenek Asyani tidak
bisa menghadiri persidangan
2. Majelis Hakim kecewa karena kuasa hukum nenek
Asyani tidak bisa menghadirkan Nenek Asyani dalam persidangan
3. Adanya denda sebesar 500 Juta rupiah kepada
Nenek Asyani atas kasus tersebut.
Apakah ada yang aneh dengan hal
tersebut? Tentu, bagi saya sangat aneh! Namun kali ini saya hanya ingin berkomentar
tentang poin nomor 3 tersebut.
Nenek Asyani didenda 500 Juta Rupiah
Pernahkah anda melihat atau
mendengar orang yang mencuri seekor ayam kemudian ketahuan oleh warga dan
dihajar masa?
Pernahkan anda melihat atau
mendengar pelaku korupsi milyaran rupiah dan pelakunya menebar senyuman di
layar kaca tanpa terlihat rasa bersalahnya?
Pernahkah anda tahu berapa lama
waktu hukuman yang dijatuhkan kepada pencuri ayam?
Pernahkah anda membandingkan dengan
hukuman yang dijatuhkan para koruptor?
Dari kedua tersebut, terjadi
perbedaan yang sangat aneh pada saat ini. Kenapa? Dari saat awal tertangkap,
jelas terjadi perbedaan. Yang satunya dihajar, yang satunya dikawal dan
tersenyum lebar. Dari segi hukuman, memang masih lebih lama pelaku korupsi,
tetapi coba bandingkan dengan banyaknya kerugian dari perbuatan mereka.
Pencuri ayam, mencuri ayam 1 ekor
dengan harga katakanlah 100-200 ribu rupiah. Yang didapatkan saat ketahuan
adalah : 1. Dihajar masa, 2. Hukuman Penjara , 3. Denda, sedangkan koruptor
yang merugukan milyaran hanya mendapat hukuman. Kalaupun denda, dendanya pun
tak seberapa.
Kembali lagi ke kasus nenek Asyani.
Nenek ini dikenai denda sebesar 500 juta rupiah setelah dituduh mencuri 7
batang kayu jati. Nilai yang tidak sedikit tentunya. Tetapi mari bandingkan.
Berapa harga kayu tersebut? Saya
tidak tahu seberapa besar kayu jati tersebut. Namun, jika kayu tersebut seharga
2 juta rupiah, dikalikan 7 batang kayu nilainya hanya 14 juta rupiah. Apakah
sebanding dengan denda yang dituntut dan dijatuhkan kepada nenek Asyani? Belum
lagi biaya negara untuk memfasilitasi ongkos sidang, hakim, biaya pengacara,
dan apapun itu lah yang walaupun juga bukan uang negara tetapi ada hubungannya untuk ikut kasus tersebut.
Sungguh ironis dengan keadaan
tersebut. Namun pak hakim tidak memikirkan hal itu. Melihat sisi kerugian
ekonomi saja tidak diperhatikan, apalagi kemanusiaan? Padahal setahu saya,
hukum itu hubungannya dengan keadilan, dan keadilan adalah dari hati nurani
yang berarti kemanusiaan. Hmm
Bandingkan dengan pelaku koruptor.
Katakanlah Joko Susilo yang merugikan uang negara hingga 121 Milyar tetapi
hukumannya 10 tahun, dan dendanya HANYA 500 juta. Dendanya sama dengan kasus
nenek Asyani yang hanya mencuri dengan dilai belasan juta, itupun kalau benar
mencuri. Belum lagi bila nantinya mendapat pengurangan masa hukuman.
Alternatif
Jika saja bisa, kenapa hakim tidak
mempertimbangkan sisi ekonomi terlebih dahulu sebelum masuk ke sisi
kemanusiaan. Atau undang undang yang mengatur juga begitu. Contohnya saja
begini, “Pelaku tindakan pencurian dihukum dengan MENGEMBALIKAN uang tersebut
kepada pemiliknya, ditambah denda DUA KALI LIPAT yang dibayarkan kepada negara.
Jika tidak bisa membayar maka dijatuhkan masa tahanan”. Intinya mengembalikan
uang tersebut, dan denda kepada negara. Bukankah lebih sederhana? Negara pun
bisa mendapatkan keuntungan pemasukan negara yang nantinya bisa digunakan
sebagai biaya tambahan dalam pembangunan negara.
Dari hal tersebut saja, menurut
saya sudah cukup membantu pelaku untuk merasa jera. Kenapa? Karena contoh saja
korupsi sebesar 100 juta, orang akan mengeluarkan 300 juta untuk membayarkan
kerugian tersebut. Yang 100 juta dibayarkan kepada negara(sebagai pemilik),
yang 200 juta kepada negara juga tentunya. Dengan begitu orang akan berpikir
lagi untuk mencuri, karena akan rugi banyak jika ketahuan. Daripada seperti
sekarang ini, korupsi milyaran, denda tak seberapa. Ya orang yang memiliki jiwa
korup malah senang karena misal korupsinya 2 milyar, denda hanya 500 juta,
berarti masih untung 1,5 milyar.
Yaa, itu jika dilihat dari sisi
ekonomi saja. Tentu semua memiliki kelemahan karena “tidak ada yang sempurna”. Jika
akan ditambahkan sisi kemanusiaan, tinggal menyesuaikan saja.
Dian Jaya
Referensi :
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Koruptor.Terlalu.Ringan